Selasa, 23 April 2024

PWI Pusat Terindikasi Korupsi Bermodus UKW, Ketum PPDI Desak Aparat Penegak Hukum Segera Lakukan Proses Hukum


JAKARTA, HI - Ketua Umum Organisasi Pers, Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Pers Daerah Seluruh Indonesia (DPP-PPDI), Feri Sibarani, SH, MH, secara resmi hari ini mengadakan siaran pers terkait sikapnya terhadap isu buruk di dunia Pers Indonesia, yang terus menjadi trending topic, akibat ulah pengurus PWI Pusat, khususnya Ketua PWI Pusat, Hendry Ch Bangun. (23/04/2024).

Dalam pernyataannya hari ini, di gedung kantor DPP-PPDI, Jalan Darma Bakti No 1C Kota Pekanbaru Riau, Feri Sibarani menegaskan, bahwa perbuatan pengurus PWI Pusat itu telah menciderai nama baik dan marwah Pers (Wartawan) di Indonesia, termasuk wartawan yang berada di bawah naungan Organisasi PPDI dan Organisasi lainya yang bukan konstituen Dewan Pers.
 
"Kami banyak menerima informasi hari ini, terkait persoalan dugaan penyelewengan dan UKW oleh ketua PWI Pusat itu. Katanya beredar kabar, bahwa yang bersangkutan, (Hendry Ch Bangun_red) telah diberikan hukuman dengan mengambilkan dana UKW yang diselewengkan sebesar Rp 1,7 Miliar, " Katanya.

Namun Feri menyebutkan, bahwa apa yang diberitakan terkesan mengabaikan konsekwensi hukum secara pidana, mengingat perbuatan pengurus PWI Pusat menurut informasi di berbagai media dapat di golongkan sebagai tindak pidana korupsi. Hal itu di rinci oleh Feri Sibarani, manakala sumber dana UKW yang konon sudah diselewengkan sebesar Rp 1,7 Miliar, adalah hasil pemberian dari kekayaan Negara melalui BUMN. 
 
"Pemberitaan itu menurut saya adalah bersifat Absurd, atau tidak jelas yang dimaksud sebagai hukuman. Apakah perbuatan Hendry Ch Bangun itu sebagai tindak pidana korupsi, atau bukan, mustinya di uji melaui serangkaian penyelidikan atau penyidikan oleh penegak hukum, khususnya kejaksaan. Itu sudah tidak dapat lagi dikategorikan sebagai sekedar tindak pelanggaran etika, karena sudah melibatkan dana negara, dan juga sudah menghianati kepercayaan publik terhadap Pers. Selebihnya, pengembalian uang pun bukan menghilangkan sanksi pidana, sesuai dengan Undang-Undang, " urai Feri Sibarani, yang merupakan lulusan Magister Hukum Universitas Lancang Kuning ini menambahkan.

Atas pernyataannya itu, Feri kemudian memaparkan Pengertian Korupsi berdasarkan pemahaman yang di akui secara internasional.

Kata korupsi, sebut Feri sibarani, berasal dari bahasa latin, corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
 
"Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan Indonesia menja Korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, ' jelasnya.

Selanjutnya disebutkan olehnya, Definisi lainnya dari korupsi disampaikan World Bank pada tahun 2000, yaitu “korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi". Definisi World Bank ini menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi.
 
"Pengertian Korupsi juga disampaikan oleh Asian Development Bank (ADB), yaitu kegiatan yang melibatkan perilaku tidak pantas dan melawan hukum dari pegawai sektor publik dan swasta untuk memperkaya diri sendiri dan orang-orang terdekat mereka. Orang-orang ini, lanjut pengertian ADB, juga membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut dengan menyalahgunakan jabatan," Imbuhnya.

Sementara itu, Feri Sibarani pun merinci Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi, agar seluruh masyarakat Indonesia dapat memahami, apakah tindakan Hendry Ch Bangun itu (Ketua PWI Pusat) dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi.
 
"Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 adalah, Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya, " Katanya.

Feri menyebutkan, Unsur-unsur itu antara lain, Melawan hukum baik formil maupun materil. Memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.

Sementara ia juga mengemukakan Ciri-ciri Korupsi, yaitu selalu melibatkan lebih dari satu orang. Biasanya dilakukan dengan kerahasiaan. Melibatkan pihak yang saling menguntungkan dan menjaga kewajiban dan Oknumnya sering berasal dari pihak yang berkepentingan. Yang paling penting adalah tiap tindakan korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan.
 
" Keseluruhan Unsur-unsur dan Ciri-ciri korupsi diatas hampir menyerupai apa yang sedang terjadi di tubuh pengurus PWI Pusat itu. Tapi untuk lebih jelas dan terpenuhinya asas praduga tak bersalah, maka kami dari PPDI meminta kepada Kejaksaan dan Kepolisian agar segera dapat mengusut hal ini secara profesional untuk demi keadilan dan kepastian hukum," Lanjutnya.

Selain itu, menjawab pertanyaan wartawan terkait respon dan sikap para kepala Pemerintahan di Pusat dan Daerah yang kerap mengutamakan wartawan dan Media dari kalangan PWI, dalam memberikan fasilitas saat liputan dan kesempatan kerjasama publikasi, Feri Sibarani mengatakan hal itu sesungguhnya adalah tindakan diskriminasi dan tidak memiliki landasan hukum.
 
"Nah, ini biang masalahnya selama hampir 3 Dekade ini. Kita juga kerap mengalami itu. Alasannya wartawan PWI katanya profesional, sudah ada sertifikat UKW utama dan terverifikasi perusahaan medianya. Padahal aturan itu dibuat secara sewenang-wenang, oleh Dewan Pers, tanpa melibatkan semua insan pers atau Organisasi Pers yang ada. Itukan sebuah penjajahan Kemerdekaan Pers dengan model baru di era reformasi ini. Anehnya semua Lembaga Negara Indonesia ini tunduk, seakan dicucuk hidungnya, " Jelas Feri.

Mengakhiri pernyataannya, tak lupa Feri Sibarani yang kini sedang mempersiapkan buku edisi pertamanya, hasil tulisannya tentang Pers dengan segudang permasalahannya di tinjau dari perspektif hukum Indonesia.

Ia menghimbau kepada seluruh Kepala Pemerintahan di semua jenjang, mulai dari Presiden, Gubenur, Bupati/Walikota, hingga para kepala Desa, agar kembali kepada prinsip-prinsip bernegara yang Baik dan benar. Tidak bertindak diskriminasi kepada  wartawan, atau Media, hanya oleh karena aturan Dewan Pers atau Organisasi Pers lainnya. Tetapi harus tunduk pada Undang-Undang Pers, sebagai ketentuan yang telah disepakati oleh Negara. 
 
"Peristiwa di PWI Pusat ini menjadi Cambuk bagi Dewan Pers, PWI, Pemerintahan di seluruh Indonesia, termasuk seluruh Kementerian dan Lembaga Negara. Para BUMN/BUMD, yang selama ini kerap " Mendewakan " Wartawan dari PWI atau aliansi Dewan Pers. Inilah buktinya.. Ini baru yang kita ketahui. Saya juga berharap Kejaksaan dan Kepolisian atau KPK dapat memeriksa seluruh PWI di Indonesia, karena tidak rahasia umum lagi, organisasi ini kerap disebut selalu aktif dan rutin mendapatkan fasilitas dan anggaran dari APBD dan APBN, " pungkas Ketum PPDI .
 
(FIT) HI

Sumber: Siaran Pers DPP - PPDI


Senin, 22 April 2024

Dinilai Tak Beralasan Dan Mengada-ngada, Perkara Perselisihan Hasil PHPU Presiden 2024 Ajuan Ganjar-Mahfud Ditolak MK


JAKARTA, HI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 (PHPU Presiden 2024) yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 03  Ganjar Pranowo dan Moh. Mahfud MD (Ganjar-Mahfud). Majelis Hakim Konstitusi menyatakan dalil-dalil Perkara Nomor 2/PHP.PRES-XXII/2024 tidak beralasan menurut hukum. Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada Senin (22/4/2024) siang dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1, MK Jakarta.

Terhadap dalil-dalil Pemohon ini, Mahkamah membaginya menjadi enam klaster yakni independensi penyelenggara pemilu; keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden; bantuan sosial; mobilisasi/netralitas pejabat negara; prosedur penyelenggaraan pemilu; dan pemanfaatan aplikasi sistem informasi rekapitulasi elektronik (Sirekap). 

Dalam persidangan ini, Mahkamah tidak hanya mengemukakan persoalan hukum dalam PHPU Pilpres 2024, melainkan memberikan beberapa rekomendasi bagi penyelenggara pemilu dalam menyiapkan pesta berkala lima tahunan bagi seluruh warga negara Indonesia ini.

Salah satunya mengenai persoalan penggunaan dan pengaplikasian Sirekap dalam proses penghitungan sampai rekapitulasi suara yang didalilkan Pemohon. Bahwa Komisi Pemilihan Umum (Termohon)  mengakui data dalam Sirekap tidak dilakukan validasi sehingga menjadi data yang kurang akurat. 

Hal ini diakui oleh Ahli Termohon Marsudi Wahyu K. yang menyebutkan akurasi menjadi kekurangan dari aplikasi Sirekap. Akibatnya data yang ada pada aplikasi Sirekap tidak memberikan kepastian dan bahkan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Padahal Mahkamah melihat aplikasi Sirekap telah melalui proses audit oleh Direktorat Alih dan Sistem Audit Teknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Badan Siber dan Sandi Negara. Selain itu, teknologi yang dikembangkan pada aplikasi Sirekap sebentuk perbaikan dari aplikasi Situng yang dipakai pada Pemilu 2019 lalu.

Persoalan akurasi data pada aplikasi Sirekap ini pada akhirnya bagi Termohon tidak difungsikan sebagai dasar penghitungan resmi suara hasil Pemilu 2024. Data yang digunakan sebagai dasar penetapan hasil perolehan suara pasangan calon secara resmi yakni data hasil penghitungan manual secara berjenjang. Sementara Sirekap difungsikan sebagai alat bantu untuk keterbukaan informasi dan memberi ruang pada masyarakat untuk menjaga lebih awal pergerakan suara hasil penghitungan dari tingkat TPS.

Terkait dengan penggunaan Sirekap, menurut Mahkamah, dalam rangka perbaikan ke depan, Sirekap sebagai alat bantu untuk kepentingan transparansi dan mengawal suara pemilih untuk diketahui lebih awal, teknologinya harus terus dikembangkan sehingga tidak ada keraguan dengan data yang ditampilkan oleh Sirekap.

“Untuk itu, sebelum Sirekap digunakan perlu dilakukan audit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri. Di samping itu untuk menjaga objektivitas dan validitas data yang diunggah, perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, Mahkamah menilai dalil Pemohon berkenaan dengan Sirekap adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Suhartoyo.

Perbaikan Sistem Kerja Bawaslu

Kemudian Mahkamah mengungkapkan dalil-dalil permohonan Pemohon mengenai adanya dugaan pelanggaran pemilihan umum, meskipun ketentuan UU Pemilu telah mengatur tentang penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu. Mahkamah menilai ke depan perlu adanya evaluasi dan perbaikan terhadap sistem kerja Bawaslu dalam menangani laporan dugaan pelanggaran yang diajukan Pelapor. 

Di samping itu, Bawaslu perlu pula menetapkan standar yang jelas dan tegas mengenai penerapan syarat formil dan materiil dalam penilaian suatu laporan khususnya dalam kajian awal yang dilakukan Bawaslu.
Mengingat Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum terkait Syarat Formal dan Materiil dalam Kajian Awal yang menyebutkan syarat formal dan materiil laporan. 

Akan tetapi sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, terdapat banyak laporan yang  tidak ditindaklanjuti dengan alasan, baik tidak memenuhi syarat formil dan materiil ataupun salah satu syarat tersebut. oleh karenanya, Mahkamah menilai penting ditegaskan agar tidak ada lagi laporan kepada Bawaslu yang ditindaklanjuti yang tidak tuntas atau belum diberi penjelasan.

Terkait dengan kinerja Bawaslu ini, Pemohon juga mendalilkan adanya penghitungan suara yang dilakukan sebelum waktu pemungutan selesai pada 3.463 TPS. Mahkamah berpedoman pada laporan Bawaslu yang telah merinci jumlah TPS yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon tersebut. Akan tetapi terhadap dalil demikian, Suhartoyo menyebut Pemohon tidak dapat memberikan rincian TPS sebagai tempat kejadian pelanggaran yang dimaksudkan. Akibatnya hal itu menyulitkan Mahkamah untuk memeriksa lebih lanjut.

Abuse of Power

Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai dalil Pemohon atas nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan melahirkan abuse of power yang terkoordinasi dengan tujuan memenangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam hal ini, Mahkamah menegaskan kembali kewenangannya untuk masuk dan menilai lebih dalam proses penyelenggaraan pemilu. Terhadap penyelesaian pelanggaran tersebut Mahkamah bukan dalam posisi untuk memberikan penilaian terhadap proses penyelesaian yang telah dilakukan oleh Bawaslu, melainkan memastikan Bawaslu telah melaksanakan kewenangan dan bertindak dengan tepat sesuai dengan asas dan hukum pemilu yang berlaku.

Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Bawaslu menjadi sebuah database pengawasan sekaligus sebagai rekam jejak perolehan suara masing-masing pasangan calon yang sewaktu-waktu dapat dibuka kembali untuk menjadi rujukan dalam persidangan PHPU di Mahkamah. Berdasarkan hal tersebut, meskipun Mahkamah tidak terikat pada hasil pelaksanaan kewenangan Bawaslu namun ketidakmampuan Pemohon menjelaskan hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dengan kebebasan pemilih dalam menentukan pilihannya.

“Ditambah pula Mahkamah tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan peristiwa yang dikatakan memberikan dampak secara nyata memengaruhi para pemilih pada suatu wilayah. Bahkan Pemohon dalam persidangan tidak dapat membuktikan pengaruh signifikansinya terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon. Dikarenakan tidak didukung dengan bukti lain yang meyakinkan Mahkamah dengan berbagai peristiwa tersebut, maka adanya migrasi perolehan suara yang merugikan Pemohon dan menguntungkan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan menurut hukum,” urai Suhartoyo.

Etika Kehidupan Berbangsa dan Berpolitik

Dalam pendapat berbeda, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti tentang keberadaan bansos pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Enny berpendapat sekalipun tidak ada larangan pemberian bansos dengan menggunakan DOP, namun sejalan dengan makna “Etika Kehidupan Berbangsa” penting untuk dilaksanakan secara bijaksana, demi menjamin pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Sehingga seorang pemimpin diharapkan memenuhi standar yang lebih tinggi daripada yang diperlukan dalam kehidupan pribadi.

Pemimpin mungkin memiliki sedikit hak privasi dibandingkan dengan warga biasa, bahkan tidak memiliki hak untuk menggunakan jabatan mereka demi keuntungan pribadi, keluarga, dan golongan. Oleh karena itu, seorang pemimpin diwajibkan memahami dan menerapkan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam memegang kekuasaan publik, serta perlunya menjaga pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, dalam konteks penggunaan DOP yang berasal dari APBN untuk bantuan kemasyarakatan menjelang Pemilu 2024 tidak dapat dihindari adanya tujuan politik yang memiliki pengaruh sangat kuat sehingga prinsip pemilu yang dijamin oleh konstitusi menjadi tidak sepenuhnya dapat diwujudkan.

“Menimbang dalil Pemohon tersebut semestinya dapat dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah. Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” ucap Enny.

(Sri/Lulu/Najwa/Irma/Febriyan) HI

Jumat, 19 April 2024

Melihat Secara Langsung Kesiapan Pelayanan Informasi Publik, Ketua Komisi Informasi Pusat Kunjungi Kejaksaan Agung RI

 
JAKARTA, HI - Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Prof. Dr. Donny Yoesguantoro, M.M., MPA beserta Komisioner KIP Samrotunnajah Ismail dan Tenaga Ahli KIP Aditya Nuriya Sholikhah melakukan kunjungan ke Kantor Kejaksaan Agung untuk melihat secara langsung kesiapan Pelayanan Informasi Publik (PIP) di Kejaksaan. Jajaran KIP tersebut diterima langsung oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Dr. Ketut Sumedana yang didampingi para jajaran.

Dalam kunjungannya, Ketua KIP menyampaikan apresiasi atas kinerja baik Kejaksaan dalam hal publikasi kepada masyarakat melalui media yang beragam. Hanya saja, beberapa hal yang menjadi catatan ialah terkait hak jawab yang diberikan kepada pelapor/pengadu yang masih mengalami kendala terutama di satuan kerja daerah.

“Kecepatan, akurasi, dan respon terhadap segala jenis pengaduan/laporan sifatnya harus segera, sehingga tidak menimbulkan sengketa informasi publik dengan pelapor. Hal ini dapat menyulitkan ketika terjadi hambatan informasi di Lembaga Kejaksaan,” ujar Ketua KIP.  

Sementara itu, Kapuspenkum menyampaikan paparan singkatnya bahwa Pusat Penerangan Hukum ialah divisi marketing dari Kejaksaan RI. Menurutnya, apabila informasi yang diterima tidak cepat dan akurat maka jajaran Puspenkum akan kesulitan untuk menyampaikan informasi ke masyarakat.

“Puspenkum itu harus kreatif, inovatif, fleksibel dan dinamis menyesuaikan dengan pasar informasi yang ada,” ujar Kapuspenkum.

Di era kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, kanal-kanal informasi Kejaksaan di berbagai media diupayakan secara kontinuitas dan efektif. Mulai dari, media elektronik, media massa, hingga media sosial agar kebutuhan masyarakat akan informasi dapat terpenuhi oleh seluruh segmen/kalangan. Masyarakat cukup dengan mengakses media sosial dan media digital sudah dapat menerima informasi secara cepat dan akurat.

Kapuspenkum juga menegaskan bahwa kinerja yang baik tanpa dibarengi dengan publikasi yang kreatif tentu tidak akan tersampaikan pesannya. Terlebih lagi, masyarakat digital saat ini terus berkembang tanpa batas waktu, jarak, dan ruang. Kapuspenkum berharap kanal-kanal informasi yang ada harus dimanfaatkan dengan baik oleh Kejaksaan dan jajarannya.

“Harapan kita semua, dengan informasi yang baik akan menghasilkan kepercayaan publik yang semakin baik,” pungkas Kapuspenkum.

Turut hadir dalam giat kunjungan ini yakni Kepala Bidang Penerangan dan Penyuluhan Hukum Dr. Martha Parulina Berliana, S.H., M.H., Kepala Bidang Hubungan Media dan Kehumasan R. Raharjo Yusuf Wibisono, S.H., M.H., Kepala Sub Bidang Kehumasan Dr. Andrie W. Setiawan, S.H., S.Sos., M.H. 
 
(Wahyu) HI
 

Kamis, 18 April 2024

Halal Bihalal Dan Bahas Berbagai Isu HAM, Panglima TNI Terima Audensi Ketua Komnas HAM Beserta Rombongan di Jakarta


JAKARTA, HI - Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menerima Audiensi Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro yang didampingi Komisioner/Koordinator Bidang Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina, Sekretaris Jenderal Henry Silka Innah, Kepala Biro Penegakan HAM Imelda Saragih, Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerja sama Gatot Ristanto, Sekretaris Tim Pengamatan Situasi di Papua Endang Sri Melani, bertempat di Ruang Rapat Paripurna Mabes TNI, Cilangkap Jakarta Timur, Kamis (18/4/2024).
"Audensi ini sekaligus halal bihalal Ketua Komnas HAM beserta rombongan kepada Jenderal TNI Agus Subiyanto selaku Panglima TNI yang baru setelah serah terima dari Laksamana TNI Yudo Margono.," ujar Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerja sama Gatot Ristanto.
Acara Audensi berjalan cukup serius, lancar dan hangat dengan membahas berbagai isu menyangkut Hak Azazi Manusia serta hal lainnya.
Acara diakhiri dengan pemberian cindera mata dari Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto kepada Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, kemudian di lanjutkan dengan sesi foto bersama.
Turut hadir mendampingi Panglima TNI pada Audensi tersebut diantaranya, Kasum TNI, Irjen TNI, Pangkogabwilhan I, para Asisten Panglima TNI dan Kapuspen TNI.
(Tukijo) HI

 

Senin, 15 April 2024

Pertanyakan Kinerja Dewan Pers Serta Dasar Hukum Konstituen Dan Verifikasi, PPDI Desak Presiden Segera Ambil Sikap Perduli Nasib Ratusan Ribu Wartawan Dan Perusahaan Pers di Indonesia


JAKARTA, HI - Masalah Pers Nasional seakan tiada habisnya. Selain adanya dugaan praktik monopoli anggaran publikasi oleh Media-media Aliansi Dewan Pers di Pemerintahan dan swasta, kini muncul dugaan skandal korupsi dana UKW di PWI Pusat yang bersumber dari BUMN atas persetujuan Presiden RI, Joko Widodo.  Anehnya, kejadian ini terjadi di tubuh "Organisasi Konstituen Dewan Pers" sendiri. (15/04/2024).

Selain itu, masalah krusial lainnya adalah, hampir mencapai 3 Dekade atau dasawarsa, istilah dan pemberlakuan "Konstituen dan Verifikasi  Dewan Pers" secara langsung atau tidak langsung telah berdampak merugikan ribuan wartawan dan Perusahaan Pers di seluruh Indonesia.

Hal ini di nilai menyalahi dari sisi implementasi aturan perundang-undangan yang berlaku, karena labelisasi konstituen Dewan Pers terhadap beberapa organisasi Pers di Indonesia dan non konstituen Dewan Pers terhadap beberapa Organisasi Pers lainnya merupakan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan bahkan bentuk lain dari pembunuhan karakter wartawan dan perusahaan Pers serta Organisasi Pers yang sudah resmi berbadan hukum, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum Perkumpulan Pers Daerah Seluruh Indonesia (PPDI) Feri Sibarani, SH, MH di Pekanbaru hari ini.

"Sepertinya pemberlakuan soal Konstituen Dewan Pers dan non konstituen Dewan Pers terhadap sejumlah organisasi Pers di Indonesia ini sudah pada tahap memasuki permasalahan serius. Ini tidak boleh dibiarkan. Dan kami dari PPDI resmi meminta kepada Presiden RI, Joko Widodo,  agar segera memanggil Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, untuk mempertanyakan apa dasar hukum penyematan istilah Konstituen - Verifikasi Dewan Pers dan Non Konstituen - Non Verifikasi Dewan Pers terhadap sejumlah organisasi Pers dan Perusahaan Pers di Indonesia, " terang Feri Sibarani.

Ditambahkan olehnya, Presiden Joko Widodo agar dalam waktu dekat bersedia memanggil Ketua Dewan Pers Terkait Konstituen tersebut, karena dapat menjadi bahaya laten dalam kehidupan Pers Indonesia, yang seharusnya Merdeka dalam melakukan operasionalnya untuk mengembangkan Institusi Pers dalam rangka kepentingan Perusahaan Pers dan Mewujudkan Kedaulatan Rakyat sesuai dengan semangat perubahan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Alasan PPDI dan sejumlah besar wartawan dan Perusahaan Pers di daerah mempertanyakan soal istilah tersebut dikarenakan, adanya bentuk kerugian yang  nyata dan potensi kerugian berlanjut dengan perkiraan tak terhingga, secara ekonomi, karena pada praktiknya Pemerintah dan pihak swasta di Indonesia kerap menjadikan status Konstituen Dewan Pers itu sebagai tolok ukur untuk bermitra dengan organisasi Pers secara profesional yang bertujuan saling menguntungkan.

"Dewan Pers harus bertanggung jawab secara hukum atas pemberian status Konstituen Dewan Pers dan Non Konstituen Dewan Pers terhadap organisasi Pers di Indonesia. Penggiringan istilah Konstituen Dewan Pers itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Secara prinsip-prinsip hukum di Negara Indonesia, dalam rangka apapun, dan konteks apapun sangat tidak dibenarkan adanya perlakuan diskriminasi dan ketidakadilan yang berdampak merugikan hak-hak setiap orang. Hal itu jelas bertentangan dengan konsep bernegara yang disepakati di Indonesia dan norma-norma yang tercantum dalam falsafah Pancasila dan UUD 1945," kata Feri Sibarani.

Terkait hal itu, PPDI yang merupakan organisasi Pers yang sah dan berbadan hukum Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pers melihat kebijakan Dewan Pers adalah bentuk lain dari praktik pembunuhan karakter dan perampasan hak-hak organisasi Pers lainnya yang seharusnya mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama ditengah kehidupan bangsa dan Negara.

"Negara memberikan Mandat kepada Dewan Pers dalam pasal 15 UU Pers, tidak sedikit pun memiliki prasa atau makna agar melahirkan suatu perbedaan perlakuan diantara Insan Pers Indonesia. Melainkan Negara memberikan mandat kepada Dewan Pers justru untuk menjamin Kemerdekaan Pers Indonesia, itulah hasil Reformasi besar terhadap kehidupan Pers Indonesia, yang puluhan tahun berada dalam kondisi "Terpasung" oleh penguasa. Bukan untuk melahirkan "KASTA", " jelas Feri, lulusan Magister Hukum Unilak itu.

Menurutnya, saatnya Dewan Pers membuka mata dan lebih objektif melihat kenyataan sesungguhnya Dunia Pers Indonesia dengan segala permasalahan yang timbul akibat Peraturan Dewan Pers. Bahkan sebutnya, PPDI sejak berdiri awal tahun 2022 lalu, sangat banyak menerima keluhan dari wartawan dan Perusahaan Pers berbadan hukum yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan disebut, jika persoalan tidak segera di sikapi, bukan tidak mungkin insan Pers yang bukan konstituen dari seluruh Indonesia akan melakukan aksi Reformasi Jilid Ke-dua.

"Daripada menghakimi secara sepihak dan terkesan sentimentil kepada puluhan ribu wartawan di Indonesia ini, dan ribuan perusahaan Pers Indonesia di Daerah, alangkah baiknya, Dewan Pers membuka mata Nuraninya. Jangan samakan Perusahaan Pers yang level atas atau yang berada di Pusat Ibu Kota Negara dengan Perusahaan Pers di Daerah. Itu adalah dua hal yang berbeda yang tidak mungkin dapat dipersamakan, atau dua hal yang sama, dan tidak mungkin dibedakan. Jangan tunggu aksi Reformasi ke-dua Dunia Pers Indonesia," ujarnya.

Maksudnya, dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas Pers di Indonesia, Dewan Pers dalam penerapan sistem administrasi atau persyaratan untuk Wartawan, Perusahaan Pers dan Organisasi Pers seharusnya dapat berkaca pada Undang-Undang, khususnya yang mengatur soal mekanisme perusahaan besar, menengah dan kecil. Sebab tidak mungkin Dewan Pers dapat memaksakan kehendaknya dengan mempersamakan perlakuan atau mekanisme antara perusahaan Pers Super Besar, Menengah dan Kecil, yang sudah barang tentu berbeda dalam segala hal, termsuk soal permodalan, sumber daya manusia dan teknologinya.

"Ilustrasinya, Dewan Pers ini memaksakan anak kecil dengan umur 5 tahun, atau 10 tahun, untuk mengangkat beban yang peruntukannya kepada orang dewasa yang sudah berumur puluhan tahun dan terlatih. Itukan sudah dapat dipastikan sebagai bentuk penyiksaan secara tidak langsung atau langsung. Bahkan anak itu bisa terbunuh. Mirip dengan masa penjajahan era Jepang yang terkenal kejam itu. Inikan jelas-jelas penjajahan dan pembunuhan, " pungkasnya.  

(Is/Red) HI
 
Sumber : DPP PPDI
 

HARIAN INDONESIA

HARIAN INDONESIA

HARIAN INDONESIA

HARIAN INDONESIA

POSTINGAN UNGGULAN

PWI Pusat Terindikasi Korupsi Bermodus UKW, Ketum PPDI Desak Aparat Penegak Hukum Segera Lakukan Proses Hukum

JAKARTA, HI - Ketua Umum Organisasi Pers, Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Pers Daerah Seluruh Indonesia (DPP-PPDI), Feri Sibarani, SH, MH, ...


POSTINGAN POPULER



POSTINGAN LAINNYA